Aku pernah berpikir, apakah aku akan sanggup menerima kepergiannya suatu saat nanti. Dia yang dulunya sehat bugar, kuat bekerja demi menafkahi keluarga, kini tampak begitu lemah. Dia sudah tidak bisa lagi bekerja banyak. Dia hanya bisa beribadah, bermain bersama cucunya, serta kebanyakan beristirahat.
Aku selalu takut bila dia tidak sempat menyaksikan hari bahagiaku, hari pernikahanku. Aku selalu berharap dia bisa menyaksikan hari bahagiaku. Itulah doaku yang tidak pernah lepas aku panjatkan kepada Tuhan.
Aku memang adalah si bungsu yang terpaut umur yang jauh dari kakak-kakakku. Aku bahkan menyiapkan sendiri biaya untuk pernikahan ku. Aku ingin Ayah cukup beristirahat dan tidak terbebani. Hingga dua hari menjelang hari aku melamar wanita pilihanku, ayah datang ke kamarku dan berkata padaku.
“Nak, ayah rindu buah kersen. Itu adalah buah kesukaan ayah sejak kecil. Bisa kah kamu mengumpulkannya untuk ayah? Ayah akan senang sekali bila bisa memakannya lagi.”
Ketika mendengar permintaan ayah itu, hatiku bercampur aduk. Aku senang karena ayah meminta aku untuk memberikan apa yang ia suka, namun di satu sisi aku juga merasa firasat yang buruk. Aku hanya mencoba untuk menepisnya.
Aku pun memanjat pohon kersen dan mengumpulkannya banyak-banyak. Aku pun pulang membawakannya pada ayah. Namun yang kudapati adalah ayah telah terbaring kaku di tempat tidurnya dengan senyuman kecil yang menghiasi wajah pucatnya. Oh, ayah kau bahkan tak sempat menikmati kersen yang kubawakan untuk mu.
Posting Komentar