Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Kisah ini dikirim oleh Ida Ayu melalui WhatsApp Prempuan Bali.
Saya menikah dengan suami sudah 11 tahun lamanya. Dulu saya wanita pekerja kantoran. Pada saat menikah, suami saya sudah habis kontrak kerjanya dan tinggallah saya yang bekerja. Saya sudah mempersiapkan diri sebelumnya.
Masa gadis saya sudah punya rumah yang saya kontrakkan dan buat bayar cicilan ke bank. Sebelum menikah saya dan calon suami saat itu sudah mulai mencicil kulkas, kasur, meja, lemari, dan sayangnya barang-barang tersebut saya letakkan di kontrakan calon suami saya. Sehingga seminggu sebelum hari penikahaan keluarga suami sudah datang ke kota tempat saya dan keluarga saya tinggal. Di situ seluruh keluarga calon suami saya berhanggapan bahwa calon suami saya adalah lelaki yang berhasil karena isi rumah sudah lengkap.
Setelah tiba hari pernikahaan keesokan harinya saya dan suami membawa keluarga suami saya kelilng kota di mana saya tinggal dan memperkenalkan rumah yang saya dan suami akan tinggal nanti. Alangkah kagetnya saya barulah saya tau tipe mertua saya yang ingin menguasai. Seluruh sudut rumah dikomentari yang tidak menyenangkan. Sebulan setelah menikah akhirnya saya hamil anak pertama. Kondisi suami masih mencari pekerjaan, karena mengalami kecapekan saya pendarahaan sehingga di ujuk ke rumah sakit untuk di-USG apakah bayi dalam rahim saya masih ada. Puji Tuhan ternyata saya masih diberi kesempatan untuk memiliki anak, tetapi dokter menyarankan saya untuk berhenti bekerja.
Dengan berat hati saya berhenti bekerja dan permasalahaan dimulai dari sini. Cukup lama suami dapat pekerjaan tetapi dari sinilah tabiat suami akhirnya ketahuan. Dia ternyata peminum berat sampai pulang pagi. Meskipun kondisi saya hamil tua di tinggal sendiri. Pernah suatu hari saya tidak tahan lagi saya mengadu ke pihak keluarga suami saya tapi mereka tidak terima dan beranggapan saya pembohong. Karena tidak satu pun keluarga suami yang peduli sama saya, saya coba bertahan dengan kekuatan saya sendiri yang mana semakin hari semakin kelihatan suami hanya berpihak kepada kedua orangtuanya dan adik-adiknya seperti mengirim duit diam-diam sementara ke saya selalu dijatah setiap bulannnya). Hal ini berlangsung hingga lahir anak kedua.
Saya tetap bertahan dengan kondisi yang seperti tidak dianggap seorang istri. Sampai anak kedua berumur empat tahun saya memutuskan untuk bekerja kembali karena kondisi suami saya yang sebentar bekerja, lama menggangurnya. Tetapi dari pihak keluarga suami seperti tidak terbebain dengan konsidi mengganggur yang lama. Terakhir sampai 4 tahun lebih suami menggangur, bayangkan saya mikir harus bertahan dengan dua anak yang kadang saya bawa berjualan kredit baju yang saya anggap menghasilkan duit.
Keberuntungan ada di pihak saya di mana akhirnya saya bekerja di perusahaan tetapi semakin saya bekerja sepertinya saya harus mencari makan saya sendiri karena suami hanya bertanggung jawab pada kebutuhan dua anaknya saja meski kurang. Tapi saya tidak mau ribut sekarang saya biarkan suami apa maunya saja dengan prinsip saya jikalau ada apa-apa dengannya bukan tanggung jawab saya dan minta bantuanlah kepada keluarganya.
Lebih bagus saya mandiri dan saya menutup mata dan telinga saya terhadap omongan keluarganya, mertua, maupun saudara-saudaranya karena saya tahu saat saya sakit juga tidak dibantu, hanya tahunya meminta saja. Demikan cerita saya yang coba bertahan mandiri dengan bekerja demi dua anak yang jadi tanggung jawab saya.
Posting Komentar