Ilustrasi foto via shutterstock.com/ |
Penulis : Erna/Prempuan Bali
Sebuah coretan pilu di buku diari yang kutulis menyambut bulan November. Dua tahun sudah hari kelam yang menikam kujalani sejak November 2018 lalu. Aku seperti kapal yang berlayar tanpa tujuan dan buta arah.
Dua tahun ini kujalani hidup sebagai “si pincang". Dan cahaya yang mampu menembus awan hitam yang mengelilingi hari si pincang adalah senyum dan kehangatan pelukan dari seorang ibu. Bagaimana bisa hati yang patah, mata yang sembab, dan semangat yang runtuh dari si pincang yang berjiwa rapuh ini bisa langsung tenang hanya karena pelukan hangat dari seorang ibu. Sungguh luar biasa dan amat mulia Tuhan memberi dan menciptakan sosok seorang ibu untuk jiwa-jiwa di dunia.
Ibu, maaf aku masih begini.
Terima kasih selalu menyeka air mataku saat aku mengeluh saat aku sudah tak kuat, aku sudah lelah, dan saat aku ingin menyerah. Dua tahun ini adalah tahun-tahun penuh air mata dalam hidupku.
Luka-luka yang kurasakan seolah menarikku kembali ketahun 2014 yang kusebut sebagai tahun suram. Tahun saat kali pertama aku merasa gagal dan mengerti pahitnya kata gagal. Tahun saat aku memberi rasa kecewa yang amat dalam pada ibu.
Tunggu Aku, Bu
Aku tahu ibu menangis dalam salatnya, iba dengan apa yang kualami dan selalu berusaha tersenyum di depanku seolah semuanya akan berjalan baik-baik saja. Namun, mata jernih dengan banyaknya luka sayatan di dalamnya membuatku menyadari saat seorang anak terluka, seorang ibu dua kali lebih terluka. Saat seorang anak merasa gagal, seorang ibu akan merasa dua kali lebih gagal. Dan saat seorang anak kecewa, seorang ibu bisa dua kali lebih kecewa.
Tahun ini, entah untuk keberapa kali kuhadiahkan lagi luka untuk ibu. Ibu, maaf aku masih begini.
Saat anak-anak yang lain sudah berjalan menuju sukses hidup anakmu seolah berjalan mundur. Saat anak anak yang lain sudah mampu mengucapkan, “Bu, uang bulanan sudah aku transfer, ya," kalimat itu masih menjadi mimpi untukku.
Ibu, maaf memberimu waktu menunggu sedikit lebih lama. Maaf dua tahun ini aku menjadi si pincang yang buta arah, si pincang yang mudah rapuh dan si pincang yang banyak mengeluh. Jika tanpa ibu entah siapa yang akan mampu menenangkan hatiku yang setiap hari bergemuruh. Jika tanpa ibu siapa yang akan memberiku suntikan energi bahwa masih ada harapan untuk si pincang yang banyak kurang ini.
Terima kasih, Bu sudah lelah dengan ikhlas menafkahi aku dan keluarga kecil kita. Terima kasih sudah mengemban dua tanggung jawab sekaligus untuk keluarga kita. Terima kasih untuk banyak keinginanmu yang kau tahan hanya demi kebahagian anak anakmu.
Terima kasih selalu menyebut namaku di setiap sujudmu. Tunggu aku ya, Bu, tahun ini mungkin aku adalah si pincang tapi aku yakin doa-doa yang kau langitkan pada Sang Pemilik Kehidupan perlahan akan mengubahku menjadi si cemerlang.
Sabar dan tetap tunggu sampai aku mampu untuk berucap, “Bu, uang bulanan sudahku transfer. Bu, pilih semua yang ibu mau. Bu, hari ini mau jalan-jalan ke mana? Bu, waktunya ibu berangkat haji.” Aku sedang berjalan menuju itu bu dengan doa doa ibu sebagai kekuatanku.
Posting Komentar