Setiap keluarga memiliki banyak kisah dan makna tersendiri. Baik kisah bahagia maupun kisah yang berurai air mata. Kisah tentang orangtua, saudara, atau kerabat dalam keluarga. Ada makna dan pelajaran yang bisa dipetik dari setiap kisah yang kita miliki dalam keluarga. Melalui Situs Prempuan Bali ini Sahabat bisa berbagai kisah tentang keluarga.
Oleh: Ayu Widya Yanti
Kehidupan satu orang dan orang lainnya adalah berbeda. Aku selalu salut dan iri apabila melihat keluarga besar orang lain sangat akur. Sepupu satu dengan lainnya sangat akur. Adik kakak pada usia dewasa saling melengkapi dan saling menghormati.
Aku lahir dan besar dari orang tua yang tidak seberuntung itu. Ayahku anak pertama yang tidak dihargai adiknya, karena ayahku dianggap orang yang "gagal" karena di-PHK di usia tua, usaha bangkrut tak bersisa. Begitu pula ibuku. Anak bungsu yang dilupakan karena ketidakmampuannya dalam finansial.
Aku terbiasa hidup keras. Tanpa dihargai. Ayahku sempat menjadi Tukang Bangunan demi kehidupan kami. Sekolah pun aku dibantu oleh donatur sekolah agar bisa dapat baju dan buku. Astungkara... aku dan adikku selalu diberi kemudahan dalam sekolah.
Banyak hal yang tidak pernah terlupakan, seperti saat orang lain menghina orang tuaku. Bahkan adik ayahku sendiri menghina. Terlebih kami tinggal menumpang di rumah kakek, ayah dari ayahku. Ibuku ditampar oleh omku karena sebab yang tidak jelas, aku bertengkar dengan tanteku karena diejek susah dan punya kutu rambut kotor.
Aku selalu terbiasa hidup dengan keberanian namun dengan ketidakpercayaan, bahkan takut dan risih pada orang dewasa. Entah berapa kali aku bertengkar dengan orang lain yang menghina keluargaku.
Perasaan Marah dan Sakit Hati
Puncaknya adalah hari di mana adik ayahku yang nomor lima meninggal. Ramai sekali dengan pelayat. Saling bahu membahu. Tapi ketika semua orang ke kuburan untuk menguburkan, aku dan ibuku tidak ikut, karena kami sedang halangan.
Tetapi ketika semua orang menguburkan, ibu-ibu di daerah rumahku datang ke ibuku. Mereka bilang, "Kenapa nih si ibu A nggak ke kuburan?" ucap ibu tetangga itu. Ibu lain berucap, "Ah saya amanin ah uang ngelayat orang-orang." Ibuku cuma bilang, "Bawa aja, Bu. Saya juga takut kalau ada uang."
Tapi seorang ibu tetangga pertama bilang, "Alah lu takut gentayangan kan hah?" Sambil menarik ibuku ke baju almarhum tanteku. Berkata lagi, "Nih bersihin nih bersihin. Jangan takut kamu kan numpang bareng-bareng juga," diinjek-injeklah baju tanteku.
Ya Tuhan aku nggak tahan lagi untuk nggak marah.
Kumarahi semua orang di situ, "Saya tidak takut! Yang saya takut kalau uang ngelayat hilang dan saya disalahkan. Bawa. Silakan bawa uangnya. Saya tidak butuh dan tidak mau mengambil yang bukan hak saya. Untuk baju dan sisa almarhum, akan saya bersihkan sendiri. Pergi kalian semua dari sini." Kuambil baju-baju yang dilepas di tempat pemandian terakhir. Aku bersihkan semua. Kuambil sapu sekaligus kusapu semuanya. Termasuk menyapu mereka semua.
Aku menangis. Pertama kali aku marah dan menangis. Bahkan tangisan itu tidak hilang dalam tiga hari. Ingatan dihina dan sakit hatinya aku dan ibu ku pada hari itu aku ingat hingga hari ini. Tidak semua orang tahu. Hanya satu orang temanku yang aku ceritakan. Tujuh tahun berlalu aku pendam segalanya.
Sejak saat itu, aku seperti hidup tanpa bisa mempercayai orang lain. Aku anggap semua orang akan memandang aku sebelah mata. Aku hanya percaya pada ayah, ibu, dan dua orang adik.