Wanita yang Bisa Jaga Diri di Rantauan, Ternyata Wanita Bermental Kuat

Wanita yang Bisa Jaga Diri di Rantauan, Ternyata Wanita Bermental Kuat
Foto via https://instagram.com/pt.sriayutarisa
Terlahir dari keluarga yang memiliki kondisi ekonomi menengah kebawah terkadang membuatku menjadi orang yang sedikit minder. Dari kecil aku hidup dalam skala pas  pasan dan kadang juga kekurangan, ayahku bekerja sebagai seorang petani dengan penghasilan yang tidak pasti.

Hidupku sedari kecil bisa dikatakan susah, ayahku yang suka berjudi membuat ibu dan aku harus menerima segala kosekuensinya. Setiap hari beliau hanya keluar rumah untuk menghabiskan uang, ketika panen tiba ayahku selalu menggunakan hasil panennya untuk kegiatan judi. Ketika uang habis yang dilakukan hanya mengamuk dan mengamuk.

Kadangkala saat ayahku menang berjudi, uang hasil judinya diberikan pada ibuku untuk biaya kehidupan kami di rumah. Tetapi ibuku selalu menjagaku agar tidak menggunakan uang hasil judi ayahku untuk memenuhi kebutuhan makanku ketika aku kecil. Ibuku tidak mau jika aku sampai hidup dari uang haram, karena pemikiran ibuku jika aku dibesarkan dengan menggunakan uang haram maka akan menjadi dewasa yang berbudi negatif.

Terkadang aku sendiri iri melihat kehidupan teman-temanku, memiliki figur seorang ayah yang sabar dan mampu memenuhi setiap kebutuhan mereka. Sedangkan aku untuk mendapatkan keinginanku saja aku harus rela menunggu lama dan kadangkala untuk mendapatkannya pun dibantu oleh nenek dan saudara terdekatku. Ketika ayahku tak lagi mampu memenuhi kebutuhanku, nenekku lah yang akan mencukupinya.

Terkadang aku bingung, aku sebagai anak tunggal dari kedua orangtuaku tetapi untuk mendapatkan apa yang kumau itu rasanya lama sekali. Dari kecil aku tidak pernah dekat dengan ayahku, berbicara dengannya pun itu bisa dihitung jari dalam waktu satu minggu. Biasanya ayah dan anak perempuan itu saling dekat tetapi tidak denganku. Melihat perilaku ayahku yang suka mengamuk ketika uang habis karena tak bisa berjudi lagi terkadang membuatku sangat membencinya. Dalam hatiku ingin rasanya aku mengusir ayahku untuk pergi dari rumah saja karena tak kuasa melihat tingkah lakunya. Tetapi aku sebisa mungkin harus bisa menjaga diriku sendiri agar tidak terbawa oleh emosi sesaat.

Untung saja perilaku tercela yang dilakukan ayahku itu tidak berselang hingga aku dewasa. Sedikit demi sedikit ayahku mulai meninggalkan kebiasaannya untuk berjudi. Rasanya aku bersyukur sekali. Berhentinya ayahku dari kebiasaan itu tidak membuat sifatnya yang pemarah menjadi hilang. Tetap saja ketika tidak punya uang selalu marah–marah. Terkadang aku berpikir untuk bekerja agar tidak selalu menjadi beban orangtuaku. Rasanya aku sekolah sudah tidak ada semangat sama sekali, tetapi lagi-lagi aku harus mampu menjaga diriku dari emosiku sendiri.

Karena emosi merupakan musuh terbesar manusia yang sebisa mungkin harus mampu dikalahkan oleh diri manusia itu sendiri. Jangan pernah mau jika diri kita ini dikuasai oleh penyakit hati seperti emosi. Aku berpikir mungkin inilah jalan hidupmu, dari kejadian ini mungkin Tuhan ingin menunjukkan dan juga mengajariku bagaimana cara untuk menjadi seseorang yang kuat dan sabar.

Waktu semakin hari semakin cepat dan membawaku menjadi seorang yang lebih dewasa lagi. Hingga saat ini aku bisa duduk di bangku kuliah dengan kerja kerasku dan juga orang tuaku. Tidak kupungkiri bahwa aku bisa seperti ini juga berkat figur seorang ayah.

Ayahku sudah berusaha keras untuk membesarkanku hingga aku bisa seperti sekarang ini. Menurutku ketika aku kuliah ini merupakan hal tersulit yang harus kulewati dalam hidupku. Dengan kondisi yang pas–pasan dan sikap ayahku yang pemarah menjadi cobaan terberat dalam perjalanan hidup. Berada jauh di tanah rantau, aku sendirian tanpa ada yang menjagaku menjadikan semua itu tanggung jawab yang besar untukku.

Ketika di rumah aku hidup dibawah pengawasan orangtuaku, dengan didikan keras yang diberikan oleh ayahku. Tetapi ketika aku berada di tanah rantau aku menemukan sesuatu yang berbeda, berada di dunia luar yang penuh dengan kebebasan. Di sini aku merasakan udara yang sangat bebas, keluar malam tidak ada yang melarang dan melakukan semua hal yang kuinginkan tanpa adanya kekangan.

Di tanah rantau tepatnya di Jember aku merasa nyaman karena sudah tidak mendengarkan amarah ayahku lagi. Meskipun demikian aku juga harus tahu diri, bagaimana pun aku bisa seperti sekarang ini juga karena ayahku jadi sebisa mungkin aku menjaga diriku sendiri agar tidak terjerumus pada pergaulan bebas yang sedang marak terjadi di era modern ini.

Di sini aku hidup sendiri tanpa ada yang mengawasi, banyak orang juga di sekitarku jadi aku harus belajar mengenali orang lain dan lebih berhati–hati ketika bergaul. Menjaga diri sendiri dari hal–hal negatif itu merupakan tanggung jawab besarku selama aku jauh dari kedua orangtuaku.

Prinsipku adalah jangan sampai aku kalah dengan musuh terbesar manusia ketika aku sedang sendirian yaitu hawa nafsu. Di kampus aku banyak teman, terkadang ada beberapa teman yang menjerumuskan. Niatnya mau ngajakin kita untuk melakukan hal–hal yang positif tetapi pada kenyataannya justru kita dibawa ke jalan yang salah.

Banyak kejadian bahwa mahasiswa kecanduan narkoba, minuman keras bahkan juga seks bebas itu membuatku menjadi takut untuk bergaul. Aku tidak pernah ingin terjerumus ke dalam semua itu. Oleh karena itu karena aku sendiri di perantauan, tidak ada yang mengawasiku maka aku harus pandai–pandai menjaga diriku sendiri entah itu berasal dari pengaruh orang lain maupun berasal dari dalam diriku sendiri.

Dari sini aku belajar, dengan kondisi keluargaku aku harus mampu mengontrol diriku sendiri dari rasa emosiku. Dari segi kehidupanku aku juga belajar bahwa menjaga diri sendiri itu lebih susah daripada harus menjaga orang lain. Karena aku menyadari hal tersebut maka sebisa mungkin aku harus bisa mengendalikan diriku sendiri.