Hari Raya Saraswati adalah perayaan hari diturunkannya ilmu pengetahuan (vidya) dan Tuhan Yang Maha Esa melalui sinar suci-Nya Dewi Saraswati. Hari raya Saraswati diperingati setiap enam bulan sekali, tepatnya pada hari Saniscara Umanis wuku Watugunung.
Kata “Saraswati: berasal dari ‘Sara’ yang berarti “Dia yang memberi essensi/arti”, ‘Swa’ berarti ‘diri sendiri’,dan ‘Thi, berarti: ‘dia yang mengetahui’. “Sarasvati” juga berarti “yang mengalir”, di dalam Rig Weda beliau digambarkan sebagai sebuah sungai yang senantiasa mengalir, beliau memberi kesuburan setiap kandungan wanita dan juga kesuciaan bagi semua pemujanya.
Larangan Tidak Boleh Membaca dan Menulis Pada Hari Saraswati
Dikalangan umat hindu sendiri ada banyak yang berpendapat bahwa pada Hari Raya Saraswati tidak boleh membaca ataupun menulis dan begitu pula sebaliknya ada yang menganggap bahwa itu adalah sebuah mitos. Kami mencoba merangkum dari berbagai pendapat mengenai hal ini.
1. Pemikiran keliru tentang pelarangan oleh para orang tua kepada anak-anaknya untuk membaca (belajar) pada saat perayaan Saraswati. Saya sendiri sering mendengar para orang tua menyatakan larangan itu. Katanya, tidak boleh menyentuh buku,apalagi membaca saat odalan (perayaan) Saraswati. Mereka beranggapan bahwa kalau kita membaca saat perayaan Saraswati, itu akan mengganggu ketenangan Sanghyang Aji Saraswati. (Balipost.com)
2. Saniscara Umanis Watugunung = Sasraswati, hanya melalui proses belajar ilmu itu didapat, bukan dengan membuatkan banten pada buku saja tanpa pernah mau membuka dan meneguk saripatinya dengan membaca. Jadi tepis anggapan pada hari saraswati tak boleh baca buku(peradah.org)
3. Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi. (hindubatam.com)
Jika dipikirkan terasa ada yang janggal, kenapa Pada Hari Saraswati yaitu hari turunnya ilmu pengetahuan malah sebaliknya memaknai dengan tidak membaca atau menulis. Akan tetapi didalam Parasara dharmasastra disebutkan bahwa ayat-ayat suci atau petunjuk-petunjuk suci tidak boleh ditafsir dengan logika, harus ada penjelasan dari sang Sadhu (orang suci) atau dalam ilmu modern oleh ahlinya, Yang terpenting adalah dijelaskan oleh orang suci, kenapa orang suci? Didalam weda disebutkan bahwa weda itu ada didalam pikiran , didalam pikiran orang Sadhu (orang suci lahir dan batin). Dalam hukum progresif juga tidak dibenarkan menafsirkan hukum dengan logika sebab bisa berakibat fatal.
Berdasarkan sloka Manawa Dharmasastra tersebut Hukum Adat atau tradisi suci diakui sebagai sumber hukum yang sah. Salah satu sumber hukum larangan membaca bersumberkan pada lontar Sundarigama:
“sang hyang pustakam lingganing aksara, pinihayu, puja walian haturaken puspa wangi, kalingania amuja Sang Hyang Bayu, ika samana ika, sira tan wenang angreka aksara, tan wenang angucara weda, puja, mwang kidung kekawin, kawanangan laksanania ayoga ameneng”.
Dilarang Menulis aksara (sira tan wenang angreka aksara) dilarang mengucapkan mantra weda (tan wenang angucara weda). ada yang menafsirkan “ sira tan wenang angreka aksara “ diartikan dilarang Nen¬ten dados ngamatiang aksara tidak boleh membunuh/mematikan aksara.
Mematikan aksara secara harfiah dalam tradisi Bali berarti menempatkan “ulu” / “hulu” (= agar suatu aksara bersuara vokal “i”) dan “suku” sekaligus pada suatu aksara (= agar suatu aksara bersuara vokal “u”). Sebagai contoh:
Tha + “ulu” = akan terbaca “Thi”;
Tha + “suku” = akan terbaca “Thu”; Tapi jika
Tha +” “ulu” + “suku” = akan menjadi aksara mati (tidak terbaca).
Demikianlah dalam membuat aksara mati (menjadi tidak terbaca) dalam tulisan/aksara Bali.
Dari berbagai pendapat dan sumber yang kami coba rangkum, dapat disimpulkan menurut kami bahwa larangan untuk membaca lebih tertuju kepada Pustaka Suci seperti kitab Catur Veda , Kitab-kitab Brahmana, Upanishad-Upanishad, Weda Smerti; kitab-kitab Dharmasastra,Itihasa, Purana, Lontar-Lontar dan lain yang sejenisnya yang berkaitan dengan Ajaran Agama atau Ajaran Ketuhanan. Sedangkan larangan menulis seperti Menulis Devanagari, Menulis Akasara Bali, Aksara Jawa yang berhubungan Tuhan atau aksara-aksara Suci.
Jika untuk dewasa ini, seperti buku bacaan biasa(buku pelajaran sekolah) atau menulis latin biasa. Itu kembali kepada pendapat individu masing-masing. Semoga dapat bermanfaat untuk semeton. Jika terdapat penjelasan yang kurang lengkap atau kurang tepat. Mohon dikoreksi bersama. Suksma…