https://instagram.com/kebayabali_rokprada |
Sahabat Prempuan Bali, mungkin sudah banyak yang menjelaskan tentang berbusana adat Bali ke Pura saat Sembahyang, tetapi kali ini kami sedikit cerita tentang wanita yang rambutnya terburai ketika sembahyang ke Pura, Itu Sangat salah. Kenapa Rambut Prempuan Bali harus di Pusungkan saat bersembahyang, silakan simak penjelasannya di bawah.
Sebetulnya punya sejarah yang panjang, mengingat kisah ini bermula dari satu dari dua epos mahakarya yang terus abadi hingga saat ini yaitu Mahabharata. Lebih tepatnya, pada kejadian di balairung istana, ketika Drupadi diseret oleh Dursasana dengan menjambak rambutnya, berusaha ditelanjangi olehnya sebagai budak taruhan yang baru saja mereka menangkan. Bab Sabha Parwa, subbab Dyuta Parwa.
Potret Drupadi yang diperkosa hak-haknya, ditelanjangi oleh iblis di depan suaminya sendiri yang (diam saja) ia anggap titisan dewa, adalah bentuk pemasungan perempuan yang paling terkenal di dalam sejarah. Kejadian ini pun sudah berulang kali dikupas dalam berbagai ulasan, kritik, dan karya sastra, dari sudut pandang yang berbeda. Dari sudut pandang perempuan yang pasrah, sampai perempuan yang menggugat.
Namun, satu hal dari cerita mahabarata tersebut yang sangat membekas di benak masyarakat Hindu adalah sumpah dari Drupadi.
Yang menyatakan bahwa ia tak akan menyisir, memotong, dan mengikat rambutnya sebelum rambut itu dibasuh dengan darah Dursasana.
Meskipun pada akhirnya sumpah itu terlaksana, tetapi wanita dengan rambut tergerai, dalam masyarakat Hindu, dipandang sebagai simbol kemarahan, kebencian, dan dendam. Inilah sebab mengapa seorang wanita yang berkunjung ke pura tidak diperkenankan untuk menggerai rambutnya. Siapa pun yang datang ke rumah Tuhan hendaknya berada dalam ketenangan dan kesucian. Bukan dengan dendam apalagi kemarahan, karena kemarahan seorang wanita itu kadang sampai tak terkatakan.
Contoh paling terkenal dalam sastra Hindu soal ini adalah ketika Parvati berubah menjadi Kali (bentuk Durga yang paling menyeramkan) dan membuat dunia kocar-kacir.Bahkan suaminya, Siwa, tak bisa menghentikannya, tak bisa membuat ia sadar. Tak ada kekuatan Siwa yang bisa menandingi seorang Parvati yang marah.
Tapi akhirnya Kali sadar dan kembali tenang, ketika ia menginjak suaminya sendiri. Siwa mengorbankan dirinya sendiri untuk diinjak, Syukurlah setelah itu amarah Kali mereda. Dan, di sinilah ada bentuk yang paling sering muncul dalam arca-arca di Pura Dalem: Durga yang menjulurkan lidahnya yang merah, menggigitnya dengan gigi yang putih bersih. Maksudnya, sifat-sifat marah dan ganas (rajas) cuma bisa dihentikan dengan sifat-sifat yang putih, bersih, dan suci (satwam).
Apa kaitannya dengan rambut?
https://instagram.com/artikas_ |
Cuma memang, sekarang imbauan ini jarang orang yang tahu, soal adab untuk tidak menggerai rambut di pura, jarang terlihat aturan itu terpampang di papan-papan petunjuk pura yang pernah saya datangi. Bagaimanapun, dari kebiasaan kecil ini sebenarnya panduannya ke sastra dan nilai agama itu besar sekali. Pelajaran yang sangat berharga dalam banyak hal .
Pertama untuk memuliakan dan menghormati wanita. Kedua untuk tidak mengabaikan hal-hal kecil, apalagi ketika itu menyangkut adat dan kebiasaan yang baik. Karena sesungguhnya kitalah yang mestinya melestarikan adat itu, bukan menjadikannya musnah.
Semoga bermanfaat ngih🙏